Selasa, 12 September 2017

Mahasiswa, Malasiswa, dan Mahasisa : Siklus Kehidupan Bermahasiswa




 Oleh : Bahrum
Mahasiswa Fakultas Ekonomi Umpar
Siklus kehidupan selama kita mengenyam pendidikan di ranah perguruan tinggi alias bermahasiswa itu berhirarkis tapi unik. Pertama saat dia baru saja diterima secara resmi dan menjadi Maba (mahasiswa baru), karakter mahasiswa baru itu, dia belum tahu apa dan masih dalam proses mencari-cari, proses pencariannya itu lewat berbagai medium, lewat teman dekat yang dikenal, teman sekampung yang lebih dulu kuliah, keluarga atau lewat senior yang baru dikenal. Pada tahapan ini juga persoalan akademik menjadi satu- satunya titik pangkal kefokusan dan menjadi tujuan utamanya, karena itu adalah pesan orang tua tercinta yang dititipkan kepada anaknya bersama sejumlah harapan yang baik. Ini terjadi dalam rentang semester 1 dan 2, intinya ialah dalam benaknya tujuan saya masuk kampus ini ialah kuliah baik-baik, titik
Meranjaklah sang mahasiswa ini pada rentang berikutnya, yaitu semester 3 atau ketika dia sudah punya adik angkatan atau istilah sistemisnya adalah junior, si mahasiswa ini sudah punya junior. Pada persoalan akademik, adem-adem saja, kuliah tetap lancar dengan tugas yang betumpuk. Buat makalah, kerja kelompok, presentase menjadi bagian dalam kesehariannya. Nah disini pulalah dia mengenal lebih jauh yang namanya organisasi kemahasiswaan. Ormawa ini ialah kumpulan orang-orang yang satu visi membesarkan organisasi dengan berbagai agenda.
Sudah bnyak lembaga mahasiswa yang menampakkan dirinya pada mahasiswa ini, entah itu pemberihatuan teman ataukah dia melihat dan mencari sendiri ormawa itu. Dan dia memutuskan untuk mengikuti salah satu ormawa yang menurutnya menarik dan sesuai keinginan hatinya. Alasan bergabunnya berbagai macam, mulai dari ingin menambah wawasan, memperbanyak teman, mencari jaringan untuk keperluan kedepan, sampai pada modus mencari pacar dan ada juga yang benar ingin mencari pasangan hidup. Dan pada saat inilah dia mengalami tingkat dilematis pertama, dimana biasa ada benturan antara agenda organisasi, tugas dan kuliah. Ada yang mampu mengelolahnya dengan baik, tapi tentu dengan mental dan tenaga eksra. Ada juga yang kelabakan mengelolahnya, sehingga ada salah saru yang terbengkalai dan harus dikorbankan. Dan yang mengaku dirnya aktivis, dia memilih mengorbankan kuliahnya dengan alasan agenda keummatan lebih penting di banding kuliah, "asbabun nuzulnya" fenomena sepeti ini ialah doktrin "agent of change" yang didpatinya di forum pengkaderan lembaga mahasiswa yang ia gandrungi.
Beranjaklah, mahasiswa ini ke siklus berikutnya. Di semester-semeter pertengahan, 4, 5, dan 6. Mulailah dia sibuk-sibuk mengaktualisasi diri lewat kelembagaan. Ini di ekspresikan dengan berbagai cara. Aktif dalam agenda organiasi mulai dari menjabat kepanitiaan, menjadi pengurus dan menjadi pengarah atau dalam bahasa canggihnya jadi steering commitee. Aktif mengelola wacana-wacana kekinian dengan metode diskursus dan kajian. Sangat sigap menjemput isu-isu lokal, regional, nasional smpai internasional yang dalam perenungan mereka apabila terdpat kesenjangan, ketidakjelasan, ketidakadilan atau kebijakan itu merugikan orang banyak wajib untuk diusut lebih lanjut yang berujung pada penuntutan. Demo dan aksi menurutnya adalah upaya mengekspresikan kritikan dan upaya perlawanan. Tutup jalan, bakar ban dan teriakan yang menggema begitu keras lewat corong-corong megaphone dan tulisan di spanduk aksi, itu menjadi mata kuliah wajib lebih dari 3 sks untuk memproses diri menjadi lebih matang dalam segala lini.
Kemudian tibalah dia pada tepian ujung proses perkuliahan kalau secara normal, berangkat dan kembalinya dari pengadian kepada masyarakat sebagai pelaksanaan trirura perguruan tinggi atau yang lazin kita dengar dengan Kuliah Kerja Nyata (KKN). Kembalinya dari KKN titik jenuh mulai bermula dan tingkat dilematis tertiinggi ada pada keadaan seperti ini. Sang mahasiswa mulai berefleksi, apa yang telah dilakukanya beberpa semester yang lalu, disaat yang sama teman-teman angkatanya sudah mulai mengerjakan skripsi. Tibalah dia pada penyesalan mendalam melihat persoalan akdemiknya tak terusus dan berantakan. Titik puncak dilema bercampur aduk dengan kegalauan dan penyesalan, mulai menyerang tiap malam-malamnya.
Dalam situasi seperti karakter mahasiswa bermacam-macam lagi. Ada yang memilih mempeebaikinya kembali dengan mengur KRS dan memprogam kmbali mata kuliah yang ketingglan, masuk mengulang di kelas junior dengan sedikit menurunkan tensi ego dan malunya karna pada ukuran semester tua harus mengulang dikelas adik-adiknya. Ada juga yang memilih acuh tak acuh tak peduli dengan kuliahnya, memili berdiam diri, mencari kesibukan yang lain. Mahasiswa seperti saya tidak tahu apakah dia tidak mau menurunkan tensi ego dan malunya ataukah krna alasan ideologis, entahlah mungkin beda tipis. Yah tetap juga hari-harinya dipenuhi dengan penyesalan.
Dari siklus diatas saya menarik benang, bahwa ada dua tipologi mahasiswa sesuai dengan kacamata awam saya. Pertama, apa yang saya istilahkan dengan "malasiswa". Malasiswa adalah adalah karakter mahasiswa yang benar-benar malas persoalan akademik dan lebih meprioritaskan agenda organisasi dan pribadi, biasnya yang seperti ini, kalau persoalan wacana pergerakan dan dialektika politik, luar biasanya menjelaskan, sepertinya dia khatam sekali tapi klu kembali ke jurusannya, ranah ilmu pengetahuan mengenai jurusannya​ dia sepertinya tersendak-sendak bahkan tidak tau, yah jauh panggang dari api.
Tipologi kedua, yaitu "mahasisa". Yaitu orang yang dimana tetap memang teguh prinsip acuh tak acuh, tidak peduli dan tidak urus mengenai persoalan akademik. Dia hanya akan menjadi sisa-sisa peradaban yang tak terusus, sebenarnya bahasanya agak ekstrim untuk mengatakan demikian, tapi realitanya ada yang seperti itu. Pertama mungkin karena ego yang masih belum runtuh, jaga wibawa, dan masih sangat malu. Mungkin juga ada faktor yang lain, fokus cari penghasilan atau membangun usaha misalkan tapi ini mungkin tidak masuk dalam kategori mahasisa.
Demikian itulah sedikit dedahan hasil mengamati fenomena sekitar saya, ada beragam realitas yang menampak dan mengekspresikan dirinya kepada kita sebagai objek dan kita sebagai subjek yang menangkap itu. Begitu pula persoalan kemahasiswaan yang sekarang saya alami. Kita mungkin atau saya dan orang-orang lainya berada dalam salah satu tipologi tersebut atau pernah mengalaminya. Dan ini juga adalah yang kasuistik sekali lagi kasuistik, artinya bahwa tidak selamanya seperti itu. Tapi mari kita sama-sama berpikir, tapi tak harus berpikir sama kata Asa Fida Inayah atau yang lebih dikenal dengan Afi, mengenai realitas ini. Semoga ada sesuatu yang kita renungkan refleksi dan lampaui. Intinya tetap bangga jadi mahasiswa karena kita adalah masa depan bangsa. Tapi bukan hanya sampai pada sekedar bangga tapi harus lebih jauh dari itu


Tidak ada komentar:

ALLAZI ALLAMA BILKALAM ALLAMAL INSANA MALAM YA'LAM