Kamis, 25 Desember 2014

REFLESI SUMPAH PEMUDA, PROBLEM MAKER ATAU PROBLEM SOLVER?

Delapan puluh enam tahun yang lalu, pemuda yang sebelumnya terpatronisasi dalam beberapa kelompok berdasarkan suku dan rasnya, ada yang memanakan diri mereka Jong Java, Jong Batak, Jong Ambon, Jong Islamiten Bond, Jong Celebes, Jong Sumatera, Jong Borneo, dan masih banyak lagi, mencoba menginisiasi sebuah persatuan atas nama Bangsa dan tanah air Indonesia dibawah payung kepemudaan. Mereka yang sebelumnya masih sangat menjunjung tinggi primordialisme kesukuan sehingga megakibatkan budaya sektarianisme menjadi merajalela, mencoba bangkit untuk melakukan rekonsiliasi dan konsolidasi sebagai upaya konfrontasional terhadap direbutnya hak-hak mereka oleh bangsa imprealis.
Perjuangan dan progresifitas pergerakan mereka tidaklah hanya menjadi artepak usang belaka, spirit of geis atau semangat zaman kalau merujuk pada bahasa seorang filsuf berkebangsaan jerman yakni Frederich Wihem Hegel, itu bisa menciptakan sebuah dialektika. Kebersatuan mereka tidaklah sia-sia, karena hari ini pemuda Indonesia bisa bersatu di bawah Bhinneka Tunggal Ika, walaupun mereka berbeda suku, ras, agama, tetapi mereka tetap bersatu atas nama pemuda Indonesia.
Kongres Sumpah pemuda yang kedua yang menghasilkan sesuatu yang berharga bagi dialektika kepemudaan kedepannya, yakni Sumpah pemuda, pada tanggal 28 Oktober di Jakarta. Yang sampai hari ini, kita repetisi terus-menerus tiap tahunnya.Tapi sungguh ironi yang terjadi hari ini, spirit of geis  para pemuda pendahulu kita tidaklah terinternalisasi pada setiap individu-individu pemuda hari ini, telah terjadi distorsi-distorsi sejarah dari pemuda-pemuda yang terdahulu dengan pemuda yang sekarang. Indonesia terdiri dari berbagai macam suku bangsa dan bahasa. Keanekaragaman ini menjadi kekuatan manakala kita semua bersatu; Mengakui tanah air yang satu tanah air Indonesia dan menjunjung tinggi bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan hal tersebut, adalah sesuatu yang mengisi tiap cita-cita dan harapan pergerakan pemuda pada tahun 1928. Mereka berharap terjadi kontinuasi terhadap cita-cita dan harapan tersebut.
Namun fakta saat ini sudah tidak lagi merefleksikan hal itu. Pemuda, yang seharusnya menjadi tulang punggung dan problem solver bangsa, malah menjadi bagian dari problem maker. Betapa tidak, banyak pemuda kini yang terkena narkoba, melakukan seks bebas, tindakan premanisme dan tawuran. Komisi Nasional Perlindungan Anak menyatakan bahwa sepanjang enam bulan pertama tahun 2014 ada 229 kasus tawuran pelajar, 19 di antaranya menyebabkan kematian, meningkat dari tahun 2012 yang mencapai 129 kasus.
Dalam dunia politik pun banyak pemuda yang malah terjerat kasus korupsi. Alih-alih memberi solusi bagi bangsa ini, mereka malah sibuk dengan kepentingan kelompoknya sendiri. Ormas-ormas pemuda pun berpecah belah. Bahkan ada ormas pemuda yang mengalami dualisme kepemimpinan. Sebuah fakta yang tidak bisa dipungkiri atas kondisi pemuda hari ini.
Jadi, reflesi sumpah pemuda itu mari kita kembalikan ke internal diri kita masing-masing, mari kita melakukan pra kondisi, kontemplasi dan evaluasi terhadap jiwa-jiwa kepemudaan yang ada pada diri kita masing-masing. Bergegaslah bercermin bahwa kita ini seorang problem solver yang dicita-citakan dan diharapkan oleh bangsa atau kita hanya tidak lebih sebagai problem maker, yang membuat bangsa ini merasakan kepdihan yang tak berujung. Intinya mari kita menyublemasi bangsa ini agar kitatidak terus-menerus memanen kekecawaan yang tidak perlu.(010)



Tidak ada komentar:

ALLAZI ALLAMA BILKALAM ALLAMAL INSANA MALAM YA'LAM