Seorang
dosen seharusnya bisa berperang
sebagai orang terpelajar, dari sisi
moral, pola pikir, serta sikap dan
perilakunya benar-benar menggambarkan seorang intelektual. Dengan figur, ilmu,
keahlian dan wawasannnya diharapkan dapat membuat mahasiswa menjelma menjadi calon intelek masa depan yang berkualitas
, berilmu, dan berpendidikan.
Tapi selembar cerita buruk sekaligus
menjadi rahasia umum bahkan
menjadi sebuah fenomena,
memperburuk citra dan kinerja pengajar dan
sistem pendidikan yang ada di Indonesia. Entah ini sudah mewabah atau hanya di
universitas tertentu yang mengalami hal seperti ini,
suatu hal yang sangat menyengsarakan dan merugikan mahasiswa. Sekarang dosen
seolah-olah menejer dari sebuah perusahaan yang mempunyai rezim atas setiap
keputusan pada bawahannya, mereka juga mengubah sebuah universitas dimana wadah
untuk belajar disulapnya menjadi lahan bisnis atau tempat rekreasi.
Cerita buruk tentang kinerja mereka, kita mulai dengan
banyaknya dosen yang tidak memperdulikan eksistensi kehadirannya. Hanya
mengajar 2-3 kali dalam satu semester, Mengajar tapi hanya asal masuk, datang, duduk
dan tanda tangan absen, Biasanya mereka hanya 20-30 menit
di dalam kelas kemudian pergi dengan alasan sibuk, jadwal mengajar padat, mata
kuliah bertabrakan,
ataupun dengan alasan lainnya. Tidakkah mereka mengerti uang SPP yang dibayar oleh mahasiswa untuk mendapatkan pengajaran darinya sama saja bohong atau tidak terealisasiakan.
ataupun dengan alasan lainnya. Tidakkah mereka mengerti uang SPP yang dibayar oleh mahasiswa untuk mendapatkan pengajaran darinya sama saja bohong atau tidak terealisasiakan.
Hal ini sudah melenceng dari tugas pokok seorang pengajar atau tri darma, dimana seorang
dosen sebagai
anggota sivitas akademika memiliki tugas mentransformasikan ilmu pengetahuan
yang dikuasainya, dengan mewujudkan suasana belajar dan pembelajaran agar
mahasiswa secara aktif mengembangkan potensinya. Dosen
sebagai ilmuwan memiliki tugas mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi
melalui penalaran dan penelitian ilmiah serta menyebarluaskannya. Dan hal ini tidak akan mungkin terlaksana jika tidak ada proses
pembelajaran yang aktif dan efektif dari dosen.
Cerita buruk
yang kedua tentang kinerja mereka, yaitu banyak dari mereka yang
memamfaatkan profesinya untuk mencari keuntungan dari mahasiswa. Dengan alasan
sumber pembelajaran dalam hal ini buku, banyak dosen yang menjual bukunya
dengan harga yang tidak wajar, bahkan
untuk sebuah lembaran foto copy, mahasiswa harus menghargainya dengan harga
yang cukup tinggi.
Tidak hanya sebatas itu, mereka akan
memberikan nilai eror pada anak didiknya jika buku atau proferti yang disiapkan
tidak dibeli. Dosen secara perorangan
atau berkelompok memang wajib menulis buku ajar atau buku teks, wajib
diterbitkan oleh perguruan tinggi sebagai salah satu sumber belajar yang
penting dalam pembelajaran dan untuk pengembangan budaya akademik dan budaya baca
tulis bagi sivitas akademika. Sebagaimana yang tertuang di RUU Pendidikan
Tinggi hasil panja RUUDIKTI 22 Februari 2012 Untuk bahan uji publik pasal 13,
No.3, tapi setidaknya mereka harus menyesuaikannya dengan wajar. Bukankah mahasiswa bisa diberikaan
kebebasan untuk memilih dan mencari sumber pembelajaran sendiri, sehingga dosen
tinggal mengarahkan dan mengawasi proses pembelajaran dan mengevaluasi hasil pembelajaran.
Jadi, kami berharap akan ada nantinya aturan atau ketentuan khusus
yang akan menindak hal-hal seperti ini supaya tidak ada lagi dosen-dosen yang
malas yang menjadikan universitas
seolah-olah tempat rekreasi, datang dan pergi semaunya, dan tidak ada lagi dosen-dosen
yang asal memberikan nilai eror pada
anak didiknya hanya karna buku atau propertinya tidak dibeli. Mahasiswa ingin dosen yang peduli dengan eksistensi
kehadirannya, peduli dengan apa yang nantinya akan didapat oleh anak didiknya
tidak hanya sebatas nilai yang tertera di kertas tapi juga apa yang tertera
pada kemampuannya. (lkm.pn)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar