Oleh : Bahrum
Mahasiswa Fakultas Ekonomi Umpar
Siklus
kehidupan selama kita mengenyam pendidikan di ranah perguruan tinggi alias
bermahasiswa itu berhirarkis tapi unik. Pertama saat dia baru saja diterima
secara resmi dan menjadi Maba (mahasiswa baru), karakter mahasiswa baru itu,
dia belum tahu apa dan masih dalam proses mencari-cari, proses pencariannya itu
lewat berbagai medium, lewat teman dekat yang dikenal, teman sekampung yang
lebih dulu kuliah, keluarga atau lewat senior yang baru dikenal. Pada tahapan
ini juga persoalan akademik menjadi satu- satunya titik pangkal kefokusan dan
menjadi tujuan utamanya, karena itu adalah pesan orang tua tercinta yang
dititipkan kepada anaknya bersama sejumlah harapan yang baik. Ini terjadi dalam
rentang semester 1 dan 2, intinya ialah dalam benaknya tujuan saya masuk kampus
ini ialah kuliah baik-baik, titik
Meranjaklah
sang mahasiswa ini pada rentang berikutnya, yaitu semester 3 atau ketika dia
sudah punya adik angkatan atau istilah sistemisnya adalah junior, si mahasiswa
ini sudah punya junior. Pada persoalan akademik, adem-adem saja, kuliah tetap
lancar dengan tugas yang betumpuk. Buat makalah, kerja kelompok, presentase
menjadi bagian dalam kesehariannya. Nah disini pulalah dia mengenal lebih jauh
yang namanya organisasi kemahasiswaan. Ormawa ini ialah kumpulan orang-orang yang
satu visi membesarkan organisasi dengan berbagai agenda.
Sudah bnyak
lembaga mahasiswa yang menampakkan dirinya pada mahasiswa ini, entah itu
pemberihatuan teman ataukah dia melihat dan mencari sendiri ormawa itu. Dan dia
memutuskan untuk mengikuti salah satu ormawa yang menurutnya menarik dan sesuai
keinginan hatinya. Alasan bergabunnya berbagai macam, mulai dari ingin menambah
wawasan, memperbanyak teman, mencari jaringan untuk keperluan kedepan, sampai
pada modus mencari pacar dan ada juga yang benar ingin mencari pasangan hidup.
Dan pada saat inilah dia mengalami tingkat dilematis pertama, dimana biasa ada
benturan antara agenda organisasi, tugas dan kuliah. Ada yang mampu
mengelolahnya dengan baik, tapi tentu dengan mental dan tenaga eksra. Ada juga
yang kelabakan mengelolahnya, sehingga ada salah saru yang terbengkalai dan
harus dikorbankan. Dan yang mengaku dirnya aktivis, dia memilih mengorbankan
kuliahnya dengan alasan agenda keummatan lebih penting di banding kuliah,
"asbabun nuzulnya" fenomena sepeti ini ialah doktrin "agent of change" yang
didpatinya di forum pengkaderan lembaga mahasiswa yang ia gandrungi.
Beranjaklah,
mahasiswa ini ke siklus berikutnya. Di semester-semeter pertengahan, 4, 5, dan
6. Mulailah dia sibuk-sibuk mengaktualisasi diri lewat kelembagaan. Ini di
ekspresikan dengan berbagai cara. Aktif dalam agenda organiasi mulai dari
menjabat kepanitiaan, menjadi pengurus dan menjadi pengarah atau dalam bahasa
canggihnya jadi steering commitee. Aktif mengelola wacana-wacana kekinian
dengan metode diskursus dan kajian. Sangat sigap menjemput isu-isu lokal,
regional, nasional smpai internasional yang dalam perenungan mereka apabila
terdpat kesenjangan, ketidakjelasan, ketidakadilan atau kebijakan itu merugikan
orang banyak wajib untuk diusut lebih lanjut yang berujung pada penuntutan. Demo
dan aksi menurutnya adalah upaya mengekspresikan kritikan dan upaya perlawanan.
Tutup jalan, bakar ban dan teriakan yang menggema begitu keras lewat
corong-corong megaphone dan tulisan di spanduk aksi, itu menjadi mata kuliah
wajib lebih dari 3 sks untuk memproses diri menjadi lebih matang dalam segala
lini.
Kemudian
tibalah dia pada tepian ujung proses perkuliahan kalau secara normal, berangkat
dan kembalinya dari pengadian kepada masyarakat sebagai pelaksanaan trirura
perguruan tinggi atau yang lazin kita dengar dengan Kuliah Kerja Nyata (KKN).
Kembalinya dari KKN titik jenuh mulai bermula dan tingkat dilematis tertiinggi
ada pada keadaan seperti ini. Sang mahasiswa mulai berefleksi, apa yang telah
dilakukanya beberpa semester yang lalu, disaat yang sama teman-teman angkatanya
sudah mulai mengerjakan skripsi. Tibalah dia pada penyesalan mendalam melihat
persoalan akdemiknya tak terusus dan berantakan. Titik puncak dilema bercampur
aduk dengan kegalauan dan penyesalan, mulai menyerang tiap malam-malamnya.
Dalam situasi
seperti karakter mahasiswa bermacam-macam lagi. Ada yang memilih mempeebaikinya
kembali dengan mengur KRS dan memprogam kmbali mata kuliah yang ketingglan,
masuk mengulang di kelas junior dengan sedikit menurunkan tensi ego dan malunya
karna pada ukuran semester tua harus mengulang dikelas adik-adiknya. Ada juga
yang memilih acuh tak acuh tak peduli dengan kuliahnya, memili berdiam diri,
mencari kesibukan yang lain. Mahasiswa seperti saya tidak tahu apakah dia tidak
mau menurunkan tensi ego dan malunya ataukah krna alasan ideologis, entahlah
mungkin beda tipis. Yah tetap juga hari-harinya dipenuhi dengan penyesalan.
Dari siklus
diatas saya menarik benang, bahwa ada dua tipologi mahasiswa sesuai dengan kacamata
awam saya. Pertama, apa yang saya istilahkan dengan "malasiswa".
Malasiswa adalah adalah karakter mahasiswa yang benar-benar malas persoalan
akademik dan lebih meprioritaskan agenda organisasi dan pribadi, biasnya yang
seperti ini, kalau persoalan wacana pergerakan dan dialektika politik, luar
biasanya menjelaskan, sepertinya dia khatam sekali tapi klu kembali ke
jurusannya, ranah ilmu pengetahuan mengenai jurusannya dia sepertinya
tersendak-sendak bahkan tidak tau, yah jauh panggang dari api.
Tipologi
kedua, yaitu "mahasisa". Yaitu orang yang dimana tetap memang teguh
prinsip acuh tak acuh, tidak peduli dan tidak urus mengenai persoalan akademik.
Dia hanya akan menjadi sisa-sisa peradaban yang tak terusus, sebenarnya
bahasanya agak ekstrim untuk mengatakan demikian, tapi realitanya ada yang
seperti itu. Pertama mungkin karena ego yang masih belum runtuh, jaga wibawa,
dan masih sangat malu. Mungkin juga ada faktor yang lain, fokus cari
penghasilan atau membangun usaha misalkan tapi ini mungkin tidak masuk dalam
kategori mahasisa.
Demikian
itulah sedikit dedahan hasil mengamati fenomena sekitar saya, ada beragam
realitas yang menampak dan mengekspresikan dirinya kepada kita sebagai objek
dan kita sebagai subjek yang menangkap itu. Begitu pula persoalan kemahasiswaan
yang sekarang saya alami. Kita mungkin atau saya dan orang-orang lainya berada
dalam salah satu tipologi tersebut atau pernah mengalaminya. Dan ini juga
adalah yang kasuistik sekali lagi kasuistik, artinya bahwa tidak selamanya
seperti itu. Tapi mari kita sama-sama berpikir, tapi tak harus berpikir sama
kata Asa Fida Inayah atau yang lebih dikenal dengan Afi, mengenai realitas ini.
Semoga ada sesuatu yang kita renungkan refleksi dan lampaui. Intinya tetap
bangga jadi mahasiswa karena kita adalah masa depan bangsa. Tapi bukan hanya
sampai pada sekedar bangga tapi harus lebih jauh dari itu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar