Andi Abd Muis, S.Pd.I Staf Pascasarjana UMPAR |
Kata
rekonstruksi memang sering menjadi wacana di era orde reformasi ini. Orang pada
gandrung dengan istilah ini. Kita banyak dipengaruhi oleh kata social
construction yang kemudian diteruskan ke dalam berbagai aspek, misalnya educational
construction atau konstruksi pendidikan. Penulis tahu bahwa ia telah
menjadi madzab baru di dalam dunia pendidikan. Ia dimaksudkan sebagai
pendidikan berbasis rakyat, berbasis kebutuhan atau berbasis stakeholder dan
lebih khusus berbasis kebutuhan peserta didik Jadi yang mengkonstruksi
pendidikan adalah masyarakat dan bukan elit atau bahkan pemerintah. Elit atau
pemerintah hanyalah fasilitator saja yang menghubungkan kepentingan masyarakat
dengan kepentingan negara atau penguasa. Inti di dalam pendidikan
konstruktivistik adalah pendidikan yang lebih mengedankan aspirasi dan
kesadaran masyarakat tentang pendidikan ketimbang aspirasi elit atau
pemerintah. Masyarakat atau individulah yang menentukan kebutuhan macam apa
tentang pendidikan dimaksud.
Untuk
menyelenggarakan pendidikan sebagai wadah pelaksanaan keinginan masyarakat
tersebut, maka didapati lembaga pendidikan. Yaitu sebuah institusi yang
bertugas dan berfungsi untuk mendidik masyarakat di dalam mencapai cita-cita
bersama sebagai bangsa, yaitu bangsa yang cerdas, kompetitif dan beradab. Untuk
kepentingan mencetak guru atau calon tenaga pendidik, maka didirikan perguruan
tinggi yang secara khusus mendidik guru atau calon guru. Jadi, lembaga
pendidikan keguruan memiliki peran strategis untuk menciptakan masyarakat
Indonesia yang cerdas sebagai amanat UUD 1945. Begitu strategisnya peran
pendidikan keguruan tersebut, maka nasib kecerdasan bangsa dan
keberadaban bangsa ini terletak di punggungnya. Jika pendidikan keguruan gagal di dalam mengimplementasikan fungsinya ini, maka kegagalan bangsa sudah tampak di depan mata.
keberadaban bangsa ini terletak di punggungnya. Jika pendidikan keguruan gagal di dalam mengimplementasikan fungsinya ini, maka kegagalan bangsa sudah tampak di depan mata.
Kalimat
ini mungkin bombastis akan tetapi memang benar kiranya. Keberhasilan sebuah
bangsa sangat tergantunng kepada para gurunya dan lembaga pendidikannya. Jepang
berhasil menjadi negara yang super power di bidang ekonomi tentu karena
dedikasi yang luar biasa dari para guru dan lembaga pendidikannya. Kaisar
Jepang, ketika Nagasaki dan Hiroshima hancur berantakan, maka yang ditanyakan
adalah berapa guru yang masih hidup.
Di
Indonesia, guru dan dosen sudah menjadi profesi yang setara dengan profesi
lainnya, seperti dokter, notaris, advokat, teknisi dan sebagainya. Maka seorang
guru atau dosen harus memahami tentang profesinya, misalnya kompetensi
pedagogis, kompetensi profesional, kompetensi akademis, kompetensi kepribadian
dan kompetensi sosial. Jadi seorang guru harus memiliki kompetensi tersebut agar
dirinya disebut berkompeten.
Rekonstruksi
pendidikan, penulis kira menjadi sesuatu yang sangat penting. Di dalam hal ini
kiranya diperlukan rekonstruksi sistem pendidikan dan bukan hanya rekonstrukasi
kurikulum pendidikannya. Rekonstruksi sistem tersebut menyangkut beberapa
aspek, yaitu:
1) Merekonstruksi kurikulum pendidikan
. Di dalam hal ini, maka relevansi kurikulum dengan kompetensi pendidikan
keguruan haruslah menempati ruang yang jelas. Penulis melihat bahwa kurikulum
kita masih bercorak gado-gado antara muatan akademis, muatan profesional dan
pedagogis.
2) Rekonstruksi sistem pembelajaran.
Selama ini sistem pembelajaran pada lembaga pendidikan yang menyiapkan tenaga
pendidik adalah sama dengan pendidikan akademis pada umumnya. Artinya tidak ada
perbedaan antara program studi kependidikan dengan program studi lainnya.
Padahal dengan diberlakukannya guru dan dosen sebagai tenaga profesional, maka
tentu akan membawa konsekuensi perubahan yang sangat signifikan.
3) Rekonstruksi tanggung jawab profesi.
Sebagaimana dijelaskan di dalam UU Guru dan Dosen, bahwa ada empat kompetensi
yang harus dimiliki oleh guru dan dosen, yaitu kompetensi profesional,
kompetensi pedagogis, kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial. Penuli
kemudian menekankan satu lagi, yaitu kompetensi akademis, yaitu relevansi
antara gelar kesarjanaan dan ilmu pengetahaun yang akan diajarkannya atau
ditransformasikannya. Kompetensi akademis tersebut akan mendasari pada
kompetensi profesionalnya.
Penulis
menganggap bahwa kompetensi profesional lebih berciri khas tanggungjawab kepada
dunia profesionalitas yang ditekuninya. Orang profesional ditandai dengan
keluwasan pengetahuan, sikap yang relevan dengan pengetahuan dan pekerjaannya
dan juga memiliki keahlian yang relevan dengan bidang tugas yang dikerjakannya.
Olehnya
itu secara akademis pekerjaannya dapat dipertanggungjawabkan, lalu secara
profesional juga memadai tanggungjawabnya dan secara pedagogis juga menguasai
metodologi dan pendekatan yang seharusnya digunakan di dalam mencapai tujuan
bidang tugasnya.
Bagi
penulis rekonstruksi tanggungjawab ini menjadi penting, sebab ada perubahan
yang sangat mendasar dari orang profesional dan bukan profesional. Seseorang
yang profesional, maka harus memperhatikan secara mendasar tentang proses dan
produk dari sebuah aktivitas yang dilakukannya. Tidak boleh hanya berorientasi
produk, sebab tidak ada produk yang baik kecuali melalui proses yang baik
senada dengan statemen yang di katakan oleh Prof. Dr. H. Muhammad Siri Dangnga,
M.S dalam Pidato Pembukaan Kuliah Program Pascasarjana UMPAR. Itulah sebabnya,
penulis menolak keras terhadap lembaga-lembaga pendidikan yang instan di dalam
melaksanakan program pendidikannya.
Kenyataannya,
bahwa dewasa ini banyak lembaga pendidikan yang menyelenggarakan proses
pendidikan ala kadarnya. Di mana-mana menyeruak mengenai pembelajaran melalui kelas
jauh bahkan jauh sekali. Dan anehnya, program seperti ini banyak diikuti oleh
para guru yang nota bene adalah para pendidik yang seharusnya menjadi teladan
di dalam proses pembelajaran. Program pendidikan untuk menghasilkan para guru,
seharusnya menjadi teladan di dalam proses pendidikan. Tidak boleh ada dusta di
dalam proses pendidikannya. Artinya, bahwa program tersebut harus
diselenggarakan dengan sungguh-sungguh dan penuh tanggungjawab.
Melihat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
semakin pesat, Maka pendidikan dituntut untuk bergerak dan mengadakan
inovasi-inovasi dalam pendidikan. Mulai dari paradigma, sistem pendidikan dan
metode yang digunakan. Ini dimaksudkan agar perkembangan pendidikan Islam tidak
tersendat-sendat. Sebab kalau pendidikan Islam masih berpegang kepada tradisi
lama yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan IPTEK, maka
pendidikan akan buntu.
Menurut Rahmat Ismail (dalam Khozin, 2006) bahwa ada beberapa
hal yang perlu dibangun dan diperbaiki kembali dalam pendidikan supaya dapat
berkembang sesuai dengan perkembangan zaman, yaitu:
b)
Rekontruksi paradigma, dengan mengganti
paradigma yang lama dengan paradigma baru, bahwa konsep pendidikan yang benar
harus selalu sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan perkembangan zaman.
Rekontruksi ini diharapkan dapat menyelesaikan masalah-masalah yang sedang
dihadapi pendidikan, yakni keluar dari belenggu dikotomi ilmu pengetahuan,
keluar dari sistem pendidikan yang doktrinir dan otoriter, terlepas dari
penyimpangan profesionalitas pendidik.
c)
Memperkuat landasan moral. Kita melihat pengaruh
dari globalisasi yang telah menimpa Indonesia, moral barat dengan mudahnya
masuk ke dalam negari ini dan dapat mempengaruhi masyarakat Indonesia, Maka
sangat urgen sekali kalau moral para praktisi pendidikan dibangun dan dibentuk
dengan kokoh, supaya tidak terpengaruh dengan budaya barat tersebut.
d)
Menguasai lebih dari dua bahasa.
e)
Menguasai komputer dan berbagai program
dasarnya.
f)
Pengembangan kompetensi kepemimpinan.
Adapun menurut hemat penulis agar pendidikan terus berkembang
dan selalu sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, Maka
perlu adanya integrasi antara pendidikan tradisional (pesantren) yang sepanjang
sejarahnya dikembangkan oleh NU dan pendidikan modern yang dikembangkan oleh
Muhammadiyah. Pendidikan Pesantren diharapkan untuk tetap dapat menjaga
originilitas ulama’. Sedangkan pendidikan modern diharapkan dapat menyesuaikan
dengan perkembangan IPTEK. Dalam kaedah usul dikatakan “al-muhafadhoh ‘alal
qodimis soleh wal akhdu biljadidil ashlah (menjaga tradisi lama yang baik,
dan mengambil tradisi baru yang lebih baik).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar