Oleh : Chanrasusilo
Menristek BEM UMPAR
Momentum
pemilukada di beberapa wilayah di sebagaian besar wilayah indonesia sudah
semakin dekat saja, pesta demokrasi yang tentu saja akan menarik perhatian
banyak orang untuk menyaksikan dan tentu ikut memeriahkan pesta para dewa dewa
politik ini.
Pertarungan para calon
mungkin belum benar-benar dimulai karena ini masi pada fase persiapan
semestinya, tapi atmosfer hura-huranya sudah
semakin terasa saja di sana-sini ,bahkan di pelosok-pelosok yang jaringan
telepon genggam saja jijik mendekat kesana tapi para politikus tak ragu untuk
menembusnya demi kemenangan di perang nantinya . Tentu saja persiapan adalah sesuatu yang
penting sebelum bertarung apa lagi ini soal pertarungan para dewa langit
berebut nafas para budak manusia kelas jelata.
Siapa sih yang tidak mau
menjadi Kepala Daerah hari ini yang
sudah jelas lebih sejahtera
dengan fasilitas serta tunjangan yang cukup memadai belum lagi soal sikat dan
sikut sedikit dibadingkan kepala daerah dimasa lalu yang hanya bermodal iklhas dan mendapat caci maki lebih banyak dari pada
apresiasi atas kinerjanya. Kita mungkin sudah sama-sama tau kalau negara kita sedang kencang-kencangnya
melakukan pembangunan infrastruktur demi mengejar negara-negara maju yang
infrastrukturnya sudah memadai sedemikian
rupa, dan saya yakin kita juga sama-sama paham soal bagaimna praktik sunat
menyunnat anggaran yang sudah fardu a’in
hukumnya dalam proses pembangunan. Diantara sederetan orang yang namanya
mencuat kepermukaan yang katanya punya niat menjadi kepala daerah di beberapa
tempat munkin saja ada yang membawa
kepentingan untuk memperbuncit perutnya sendiri dengan topeng kesejahtraan
rakyat katanya, maka kita sudah harus berhati hati memilah-memilah dan memilih
pada akhirnya.
Kaum
intelektual muda yang menempu
pendidikan di Perguruan Tinggi yang lebih akrab ditelinga kita dengan istilah mahasiswa, tentunya
punya kemampuan analisa yang lebih hebat dari pada masyarakat yang lebih akrab dengan cangkul dari pada
soal analisis wacana-wacana sosial yang
berkembang di sekitarnya sendiri . Maka
sudah suatu keharusan bagi mahasiswa
yang katanya lebih berilmu untuk kemudian melakukan gerakan pencerahan pada
masyarakat untuk lebih peka dan lebih mengenal bagaimana proses pesta demokrasi
dan proses perpolitikan yang sehat,
serta bagaimana sebenarnya pembangunan yang semestinya menyejahtrakan rakyat,taNpa terlibat dalam
balada kepentingan para calon dan dengan tetap bersih dari politik praktis.
Sayangnya semua tak sejalan dengan harapan, yang ada adalah
mahasiswa hari ini justru sudah ikut tercemari dengan peoses politik praktis
bahkan cenderung pragmatis,
tak
sedikit kita jumpai mahasiswa yang sudah jeas-jelas menyatakan sikap bergabung dengan parpol yang ada, paling
sering adalah jadi tim pemenangan dari salah satu calon yang ada . Mungkin untuk mahasiswa
garis kadaluarsa bergabung dengan parpol atau terlibat dalam pemenangan calon
itu bisa dianggap hal biasa mugkin itu sebagai pengobat jenuh dari proses
peramuan skripsi yang belum menuai kata Acc
juga atau itu hanya soal memperbaiki jejaring untuk persiapan sebelum sarjana dan banyak alasan aneh lain yang bisa di gunakan
untuk mengafirmasinya. Parahnya adalah mahasiswa yang baru seumur jagung yang
proses kaderisasi di organisai kemahasiswaannya saja belum ia lalui sampai
khatam tapi sudah kebelet untuk ikut dalam pesta langit perpolitikan. Dengan kemampuan
analisis yang belum benar-benar mapan bahkan kerangka berpikirnya saja belum
siap untuk menikmati politik praktis yang pada ujungnya akan justru meMbawa para mahasiswa
dalam pragmatisme tanpa
batas. Sungguh miris karena
kasus ini sudah menjamur dan merata di semua
kalangan mahasiswa di smua pelosok negri
ini , seakan mahasiswa berorganisasi hanya untuk terlibat dalam kanca
pepolitikan yang tengah terjadi.
Banyak
yang menjadikan alasan keterlibatannya dalam politik saat masi menyandang gelar
mahasiswa hanya karena soal mempersiaapkan masa depannya lalu harus terlibat
dengan smua itu. Mungkin
sekilas ini adalah satu alasan yang logis di terima tapi benarkah dengan begitu
cepatnya masuk dalam parpol atau minimal
jadi tim pemenangan calon itu adalah satu langkah tepat untuk mempersiapkan
masa depan?. Bukan kah menanam bibit
yang belum semestinya di tanam pun itu
satu kesalahan sudah dapat di pastikana
bibit itu tak akan tumbuh apa lagi mau di panen, mahasiswa yamg semestinya
masih sibuk dengan perbaikan kualitas diri justru sudah mulai di sibukkan
dengan sesuatu yang sebenarnya belum waktu.
Kampus
adalah miniatur negara,
maka ketika mahasiswa mau belajar soal perpolitikan maka tempat belajar sebenarnya
adalah di sistem perpolitikan mahasiswa dalam kampus atau dalam organisasi kemahasiswaan yang memang
jauh lebih kecil skalanya dan memamg di sanalah tempat mahasiswa benar-benar mempersiapkan dirinya
untuk masa depannya, bukannya malah menjadi pelacur idealisme dengan menikmati
onani politik pratis yang pragmatis.
Politik memang perlu untuk menjaga kita tetap waspada
ditengah gempuran kepentingan. Dan mahasiswa diharamkan untuk buta terhadap
politik karena menurut salah satu penayir Jerman Bertolt Bracth bahwa Buta yang terburuk adalah buta politik, dia tidak
mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik.
Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya
sewa, harga sepatu dan obat, semua tergantung pada keputusan politik. Orang
buta politik begitu bodoh sehingga ia bangga dan membusungkan dadanya
mengatakan bahwa ia membenci politik. Si dungu tidak tahu bahwa dari kebodohan
politiknya lahir semua pelacur, anak terlantar, dan pencuri terburuk, rusaknya perusahaan
nasional dan multinasional.Yang perlu diingat juga bahwa jangan juga menjadi
tenggelam dan hanyut dalam pragmatisme politik yang akan membuat nalar kritis
kita menjadi tumpul.