Kamis, 19 Juli 2012

REKONSTRUKSI PENDIDIKAN



Andi Abd Muis, S.Pd.I
Staf Pascasarjana UMPAR
Kata rekonstruksi memang sering menjadi wacana di era orde reformasi ini. Orang pada gandrung dengan istilah ini. Kita banyak dipengaruhi oleh kata social construction yang kemudian diteruskan ke dalam berbagai aspek, misalnya educational construction atau konstruksi pendidikan. Penulis tahu bahwa ia telah menjadi madzab baru di dalam dunia pendidikan. Ia dimaksudkan sebagai pendidikan berbasis rakyat, berbasis kebutuhan atau berbasis stakeholder dan lebih khusus berbasis kebutuhan peserta didik Jadi yang mengkonstruksi pendidikan adalah masyarakat dan bukan elit atau bahkan pemerintah. Elit atau pemerintah hanyalah fasilitator saja yang menghubungkan kepentingan masyarakat dengan kepentingan negara atau penguasa. Inti di dalam pendidikan konstruktivistik adalah pendidikan yang lebih mengedankan aspirasi dan kesadaran masyarakat tentang pendidikan ketimbang aspirasi elit atau pemerintah. Masyarakat atau individulah yang menentukan kebutuhan macam apa tentang pendidikan dimaksud.
Untuk menyelenggarakan pendidikan sebagai wadah pelaksanaan keinginan masyarakat tersebut, maka didapati lembaga pendidikan. Yaitu sebuah institusi yang bertugas dan berfungsi untuk mendidik masyarakat di dalam mencapai cita-cita bersama sebagai bangsa, yaitu bangsa yang cerdas, kompetitif dan beradab. Untuk kepentingan mencetak guru atau calon tenaga pendidik, maka didirikan perguruan tinggi yang secara khusus mendidik guru atau calon guru. Jadi, lembaga pendidikan keguruan memiliki peran strategis untuk menciptakan masyarakat Indonesia yang cerdas sebagai amanat UUD 1945. Begitu strategisnya peran pendidikan keguruan tersebut, maka nasib kecerdasan bangsa dan
keberadaban bangsa ini terletak di punggungnya. Jika pendidikan keguruan gagal di dalam mengimplementasikan fungsinya ini, maka kegagalan bangsa sudah tampak di depan mata.
Kalimat ini mungkin bombastis akan tetapi memang benar kiranya. Keberhasilan sebuah bangsa sangat tergantunng kepada para gurunya dan lembaga pendidikannya. Jepang berhasil menjadi negara yang super power di bidang ekonomi tentu karena dedikasi yang luar biasa dari para guru dan lembaga pendidikannya. Kaisar Jepang, ketika Nagasaki dan Hiroshima hancur berantakan, maka yang ditanyakan adalah berapa guru yang masih hidup.
Di Indonesia, guru dan dosen sudah menjadi profesi yang setara dengan profesi lainnya, seperti dokter, notaris, advokat, teknisi dan sebagainya. Maka seorang guru atau dosen harus memahami tentang profesinya, misalnya kompetensi pedagogis, kompetensi profesional, kompetensi akademis, kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial. Jadi seorang guru harus memiliki kompetensi tersebut agar dirinya disebut berkompeten.
Rekonstruksi pendidikan, penulis kira menjadi sesuatu yang sangat penting. Di dalam hal ini kiranya diperlukan rekonstruksi sistem pendidikan dan bukan hanya rekonstrukasi kurikulum pendidikannya. Rekonstruksi sistem tersebut menyangkut beberapa aspek, yaitu:
1)      Merekonstruksi kurikulum pendidikan . Di dalam hal ini, maka relevansi kurikulum dengan kompetensi pendidikan keguruan haruslah menempati ruang yang jelas. Penulis melihat bahwa kurikulum kita masih bercorak gado-gado antara muatan akademis, muatan profesional dan pedagogis.
2)      Rekonstruksi sistem pembelajaran. Selama ini sistem pembelajaran pada lembaga pendidikan yang menyiapkan tenaga pendidik adalah sama dengan pendidikan akademis pada umumnya. Artinya tidak ada perbedaan antara program studi kependidikan dengan program studi lainnya. Padahal dengan diberlakukannya guru dan dosen sebagai tenaga profesional, maka tentu akan membawa konsekuensi perubahan yang sangat signifikan.
3)      Rekonstruksi tanggung jawab profesi. Sebagaimana dijelaskan di dalam UU Guru dan Dosen, bahwa ada empat kompetensi yang harus dimiliki oleh guru dan dosen, yaitu kompetensi profesional, kompetensi pedagogis, kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial. Penuli kemudian menekankan satu lagi, yaitu kompetensi akademis, yaitu relevansi antara gelar kesarjanaan dan ilmu pengetahaun yang akan diajarkannya atau ditransformasikannya. Kompetensi akademis tersebut akan mendasari pada kompetensi profesionalnya.
Penulis menganggap bahwa kompetensi profesional lebih berciri khas tanggungjawab kepada dunia profesionalitas yang ditekuninya. Orang profesional ditandai dengan keluwasan pengetahuan, sikap yang relevan dengan pengetahuan dan pekerjaannya dan juga memiliki keahlian yang relevan dengan bidang tugas yang dikerjakannya.
Olehnya itu secara akademis pekerjaannya dapat dipertanggungjawabkan, lalu secara profesional juga memadai tanggungjawabnya dan secara pedagogis juga menguasai metodologi dan pendekatan yang seharusnya digunakan di dalam mencapai tujuan bidang tugasnya.
Bagi penulis rekonstruksi tanggungjawab ini menjadi penting, sebab ada perubahan yang sangat mendasar dari orang profesional dan bukan profesional. Seseorang yang profesional, maka harus memperhatikan secara mendasar tentang proses dan produk dari sebuah aktivitas yang dilakukannya. Tidak boleh hanya berorientasi produk, sebab tidak ada produk yang baik kecuali melalui proses yang baik senada dengan statemen yang di katakan oleh Prof. Dr. H. Muhammad Siri Dangnga, M.S dalam Pidato Pembukaan Kuliah Program Pascasarjana UMPAR. Itulah sebabnya, penulis menolak keras terhadap lembaga-lembaga pendidikan yang instan di dalam melaksanakan program pendidikannya.

Kenyataannya, bahwa dewasa ini banyak lembaga pendidikan yang menyelenggarakan proses pendidikan ala kadarnya. Di mana-mana menyeruak mengenai pembelajaran melalui kelas jauh bahkan jauh sekali. Dan anehnya, program seperti ini banyak diikuti oleh para guru yang nota bene adalah para pendidik yang seharusnya menjadi teladan di dalam proses pembelajaran. Program pendidikan untuk menghasilkan para guru, seharusnya menjadi teladan di dalam proses pendidikan. Tidak boleh ada dusta di dalam proses pendidikannya. Artinya, bahwa program tersebut harus diselenggarakan dengan sungguh-sungguh dan penuh tanggungjawab.
Melihat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat, Maka pendidikan dituntut untuk bergerak dan mengadakan inovasi-inovasi dalam pendidikan. Mulai dari paradigma, sistem pendidikan dan metode yang digunakan. Ini dimaksudkan agar perkembangan pendidikan Islam tidak tersendat-sendat. Sebab kalau pendidikan Islam masih berpegang kepada tradisi lama yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan IPTEK, maka pendidikan akan buntu.
Menurut Rahmat Ismail (dalam Khozin, 2006) bahwa ada beberapa hal yang perlu dibangun dan diperbaiki kembali dalam pendidikan supaya dapat berkembang sesuai dengan perkembangan zaman, yaitu:
b)      Rekontruksi paradigma, dengan mengganti paradigma yang lama dengan paradigma baru, bahwa konsep pendidikan yang benar harus selalu sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan perkembangan zaman. Rekontruksi ini diharapkan dapat menyelesaikan masalah-masalah yang sedang dihadapi pendidikan, yakni keluar dari belenggu dikotomi ilmu pengetahuan, keluar dari sistem pendidikan yang doktrinir dan otoriter, terlepas dari penyimpangan profesionalitas pendidik.
c)      Memperkuat landasan moral. Kita melihat pengaruh dari globalisasi yang telah menimpa Indonesia, moral barat dengan mudahnya masuk ke dalam negari ini dan dapat mempengaruhi masyarakat Indonesia, Maka sangat urgen sekali kalau moral para praktisi pendidikan dibangun dan dibentuk dengan kokoh, supaya tidak terpengaruh dengan budaya barat tersebut.
d)     Menguasai lebih dari dua bahasa.
e)      Menguasai komputer dan berbagai program dasarnya.
f)       Pengembangan kompetensi kepemimpinan.
Adapun menurut hemat penulis agar pendidikan terus berkembang dan selalu sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, Maka perlu adanya integrasi antara pendidikan tradisional (pesantren) yang sepanjang sejarahnya dikembangkan oleh NU dan pendidikan modern yang dikembangkan oleh Muhammadiyah. Pendidikan Pesantren diharapkan untuk tetap dapat menjaga originilitas ulama’. Sedangkan pendidikan modern diharapkan dapat menyesuaikan dengan perkembangan IPTEK. Dalam kaedah usul dikatakan “al-muhafadhoh ‘alal qodimis soleh wal akhdu biljadidil ashlah (menjaga tradisi lama yang baik, dan mengambil tradisi baru yang lebih baik).

Tidak ada komentar:

ALLAZI ALLAMA BILKALAM ALLAMAL INSANA MALAM YA'LAM